Sejarah Bapak Hardjo Mardjoet

Sejarah Bapak Hardjo Mardjoet

SEJARAH
BAPAK HARDJO MARDJOET


         Bapak Mardjoet alias Hardjo Pramojo atau yang lebih dikenal dengan nama panggilan akrapnya "Hardjo Mardjoet", lahir pada tahun 1908, di Desa Sendung Lor, Watu Gede, Wlingi, Blitar. Beliau merupakan anak ke 2 dari 13  bersaudara, ibunya bernama Sariyem.
          Di Blitar, beliau menempuh pendidikan di SR (Sekolah Rakjat), dan setelah lulus, beliau meneruskan pendidikannya melalui kursus-kursus yang antara lain di bidang grafika (percetakan).

          Sebagai seorang yang dikenal pemberani, beliau mulai mengadakan pergerakan dengan para pemuda Blitar dalam melawan Belanda di tahun 1925. Kemudian, beliau ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Belanda di tahun 1926, dan dimasukkan ke dalam penjara Blitar, lalu dipindahkan ke penjara di Nganjuk, dan selanjutnya dikirim ke penjara Cipinang, Jatinegara, Jakarta. Dipenjara Cipinang tersebut beliau pernah berusaha untuk melarikan diri dan telah berhasil melompat keluar dari tembok penjara. Namun usaha beliau gagal, dan akhirnya beliau dapat tertangkap lagi. Sehingga, akibat dari perbuatannya itu, hukumannya menjadi ditambah.
          Ditahun 1926 itu, beliau bertemu dengan Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang kebetulan 1 sel tahanan penjara di Cipinang. Di dalam sel penjara, beliau diceritakan oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo kalau dirinya dituduh Belanda sebagai Komunis, dan kebetulan Sarekat Islam yang di ikutinya juga berusaha mengadakan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang bersamaan pula dengan organisasi lain serta Partai Komunis Indonesia (PKI), dan di Desa Pilangbango, Madiun, beliau telah mendirikan kelompok latihan Pencak Silat di tahun 1922, yang mana dalam sistem perekrutannya berbeda dengan cara yang dilakukan di Persaudaraan Setia Hati di Winongo, tempatnya belajar Pencak Silat kepada Ki Ngabehi Soerodiwirjo, dan telah memiliki beberapa anggota yang antara lain adalah Bapak Hardjo Sajono (Bapak Hardjo Giring, Bapak Jendro Darsono, dan lain-lain).

          Di sel penjara Cipinang inilah, kemudian Bapak Hardjo Mardjoet belajar Pencak Silat kepada Ki Hadjar Hardjo Oetomo, bersama juga dengan yang lain, diantaranya Bapak Siswo Soedarmo (Wongso Soedarmo). Namun di tahun 1929, Ki Hadjar Hardjo Oetomo terlebih dahulu dikeluarkan dan dipindahkan ke sel penjara di Pamekasan-Madura selama 3 bulan, lalu dikirim ke penjara Madiun dan kemudian dibebaskan.

          Pada tahun 1930, Bapak Hardjo Mardjoet dibebaskan dari penjara Cipinang, di kirim ke penjara Kalisosok-Surabaya selama 3 bulan menjalani sebelum proses pembebasan. Keluar dari penjara Kalisosok, beliau di jemput oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan kemudian dibawa untuk menetap di Desa Pilangbango-Madiun, tinggal di rumahnya karena sudah diakui sebagai anak angkat.

          Di Desa Pilangbango-Madiun, Bapak Hardjo Mardjoet bertemu dengan Bapak Soedarso yang juga menjadi anak angkat Ki Hadjar Hardjo Oetomo, yang menetap dan bertempat tinggal di kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo. Dengan demikian, Bapak Hardjo Mardjoet menjadi putra angkat Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang ke 2. Demikian juga dengan Bapak Soemo Soedardjo, diambil oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo sebagai putra angkat yang ke 3 pada tahun 1933.

          Dari ke 3 anak angkat Ki Hadjar Hardjo Oetomo tersebut, yang mendalami Pencak Silat hingga tingkat III adalah Bapak Hardjo Mardjoet dan Bapak Soemo Soedardjo, sedangkan Bapak Soedarso hanya mendalami pelajaran Kerohaniannya saja (yang dikemudian hari menjadi Tim Penasehat Kerohanian Bapak Presiden Soekarno di Jakarta).

          Kegiatan sehari-hari Bapak Hardjo Mardjoet, disamping belajar Pencak Silat beliau juga bertugas mengantarkan putra Ki Hardjo Oetomo yang masih kecil yang bernama Bapak Harsono ke sekolah dan juga keliling berjualan lukisan hasil karya Ki Hadjar Hardjo Oetomo ke desa-desa, hingga pernah ke Pacitan berjalan kaki sampai 3 hari sekali pulang ke Pilangbango. Penghasilan dari penjualan lukisan dibagi 3, yakni untuk yang menjual (Bapak Hardjo Mardjoet), untuk yang membuat lukisan (Ki Hadjar Hardjo Oetomo), dan untuk kas ditempat latihan di Pilangbango. Kemudian Bapak Hardjo Mardjoet mendapatkan pekerjaan di bengkel Kereta Api Madiun sebagai tukang bubut. Di PJKA Madiun ini, anggota Setia Hati Pilangbango yang bekerja antara lain :
  1. Bapak Mochamad Irsyad
  2. Bapak R.Soewarno (Hasan Joyoadi Soewarno)
  3. Ki Ngabei Soerodiwirjo (Pendiri Persaudaraan Setia Hati) juga bekerja di bengkel PJKA Madiun tersebut.
          Tahun 1935, bertemu dengan Bapak Badini yang tinggal di oro-oro ombo Madiun yang ikut latihan Pencak Silat di Pilangbango dan juga ikut melatih Bapak Badini. Dikemudian hari Bapak Badini menjadi pasangan demonstrasi seni Pencak Silat baik di Madiun maupun di Istana Kepresidenan di Jakarta di tahun 1954, yang mana pasangan Bapak Hardjo Mardjoet sebelumnya adalah Bapak Soetomo Mangkoedjojo dan Bapak R.Soewarno. Bapak Badini ini juga ikut (Jawa : Ngeger) kepada Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan menjualkan lukisan berkeliling ke desa-desa dengan berjalan kaki.

          Tahun 1943, Pemerintah Militer Jepang menyelenggarakan pertandingan adu bebas melawan jago-jago Jepang yang menjadi Perwira Tentara Jepang dalam memperingati dan merayakan Hari Kemerdekaan Jepang. Dalam pertandingan itu, Bapak Hardjo Mardjoet berhasil mengalahkan jago sumo, dan atas kemenangannya itu beliau mendapatkan hadiah uang. Anggota Setia Hati Pilangbango lainnya yang juga berhasil memenangkan pertandingan tersebut adalah Bapak R. Soewarno.

          Sementara itu, Bapak Raden Mas Soetomo Mangkoedjojo dari Persaudaraan Setia Hati Winongo juga berhasil menang atas jagoan sumo dari Perwira Tentara Jepang, yang kemudian dikirim ke Singapura untuk melawan jagoan sumo dari seorang Perwira Tentara Jepang dan berhasil mengalahkannya sehingga meraih medali emas dan uang.

          Tahun 1948, Ki Hadjar Hardjo Oetomo mengalami sakit parah sehingga tidak dapat aktif menjalankan roda organisasi, yang kemudian untuk sementara diserahkan secara aklamasi kepada Bapak Hardjo Mardjoet untuk mengaktifkan kembali.
          Selain sebagai pelatih tetap, Bapak Hardjo Marjoet juga pernah duduk menjabat sebagai Ketua bagian Teknik Pencak Silat di IPSI Madiun pada tahun 1954, yang saat ini Ketua IPSI Cabang Madiun di jabat oleh Bapak Ruslan Wiryosumitro dari Persaudaraan Setia Hati di Winongo Madiun.

          Tahun 1965, Bapak Hardjo Mardjoet ditetapkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKRI), dan memperoleh pensiunan dari Departemen Sosial. Pada November 1967, Bapak Hardjo Mardjoet meninggal dunia dan dimakamkan di kampung halamannya di Wlingi Blitar, dengan meninggalkan seorang istri bernama Ibu Sriyati yang berasal dari Yogyakarta (menikah tahun 1937) dan dikaruniai 4 putra, yakni :
  1. Bapak Haryono
  2. Bapak Harsoyo
  3. Bapak Harmini, dan
  4. Bapak Mardiono
          Itulah sejarah singkat perjalanan Bapak Hardjo Mardjoet di masa hidupnya dalam peranan mengembangkan ajaran Setia Hati. Sekian dan terima kasih.

Salam Persaudaraan .....


Comments

ARTIKEL POPULER

Makna Tingkatan Sabuk PSHT

Materi Ke-SH-an

Pepacuh Anggota PSHT

Arti Pembukaan Persaudaraan Setia Hati Terate

Makna Pakaian PSHT

Janji Setia Anggota PSHT

Makna Hati Putih Bertepi Warna Merah pada Lambang PSHT

Mukadimah Persaudaraan Setia Hati Terate

Makna Bunga Terate pada Lambang PSHT

Materi Pembinaan Fisik PSHT